Tidak sedikit dari kita yang melupakannya, tapi bagaimanapun lokomotif uap sempat eksis dan beroperasi di Indonesia. Dari beberapa loko uap yang pernah beroperasi 2 diantaranya memiliki kecepatan yang tidak kalah dengan lokomotif saat ini.
LOKOMOTIF C28
Pada tahun 1921-1992 perusahaan kereta api Staats Spoorwegen (SS) membeli lokomotif ini sebanyak 58 buah dari 3 pabrik berbeda. 30 lokomotif buatan pabrik Henschel (Jerman), 15 lokomotif C28 buatan pabrik Hartmann (Jerman) dan 13 lainnya buatan pabrik Esslingen (Jerman).
Pada masanya C28 beroperasi di Jatinegara, Cirebon, Purwakarta, Purwokerto, Cilacap, Cepu, Yogyakarta, Solo, Kertosono, Sidotopo, Malang dan Blitar. Saat itu C28 digunakan untuk menarik kereta express karena memiliki daya 1050 HP (horse power) dan dapat melaju hingga kecepatan maksimum 90 km/jam.
Pada tahun 1934, C28 digunakan untuk menarik kereta express Vlugge Vier. Kereta yang diresmikan 1 November 1934 ini menempuh rute Bandung – Jakarta dalam waktu 3 jam, tidak jauh beda dengan waktu tempuh kereta Argo Parahyangan saat ini. Di tahun itu juga, C28 digunakan untuk menarik kereta express Vlugge Vijf. Vlugge Vijf menempuh rute Surabaya – Malang dalam waktu 2 jam 30 menit, setara dengan waktu tempuh kereta Panataran saat ini.
C28 menjadi lokomotif andalan Staats Spoorwegen dan DKA (Djawatan Kereta Api) karena perawatan mesinnya yang relatif lebih mudah. Lokomotif andalan ini menggunakan bahan bakar minyak residu atau batubara dan menggunakan sistem superheater, yakni sistem pembakaran dengan uap bertekanan tinggi dari kubah menuju ke silinder. Lokomotif ini memiliki susunan roda 4-6-4T dan dilengkapi dengan smoke deflector yang berguna untuk menciptakan arus udara yang mengangkat asap yang keluar dari cerobong, agar asap tidak menempel pada lokomotif dan mengganggu pandangan masinis.
Dari 58 lokomotif C28 yang dibeli, saat ini hanya tersisa satu, yaitu C28 21 buatan Henschel. Lokomotif C28 21 ini dipajang di Museum Ambarawa, Jawa Tengah.
LOKOMOTIF C53
Perusahaan kereta api Staats Spoorwegen membeli 20 lokomotif C53 dari pabrik Werkspoor, Belanda pada tahun 1918-1922. C53 ini digunakan untuk menarik kereta express Eendaagsche Expres dan Nacht Expres. Kedua kereta expres ini menjelajahi rute Surabaya-Yogyakarta-Purwokerto-Jakarta dalam waktu 11 jam 27 menit, tidak jauh beda dengan waktu tempuh kereta Bima saat ini. Ini membuktikan bahwa Indonesia pernah memiliki kereta api dengan kecepatan tertinggi di Asia pada zaman itu.
Lokomotif C53 memiliki panjang 20792 mm dengan daya 1200 HP (horse power) dan berat 109,19 ton, serta dapat melaju dengan kecepatan hingga 90 km/jam. Lokomotif ini memiliki susunan roda 4-6-2 dengan empat silinder, dengan spesifikasi seperti itu diharapkan dapat memberikan kestabilan ketika dipacu dengan kecepatan tinggi. Smoke deflector baru dipasang 10 tahun setelah lokomotif ini datang.
Secara teknis kinerja C53 dianggap kurang memuaskan. Dengan kecepatan 90 km/jam, C53 sudah bergetar tidak terkendali. Ketika pada tahun 1931 dilakukan percobaan dengan kecepatan 100 km/jam, lokomotif ini bergoncang keras. Meskipun demikian C53 tetap dipertahankan untuk menarik kereta expres dengan menanggung biaya perawatan yang tidak sedikit. Di tahun 1970, C53 yang tersisa digunakan untuk menarik kereta penumpang lokal atau kereta campuran barang dan penumpang di Jawa Timur, seperti dari Surabaya ke Bangil, Madiun atau Solo.
Dari 20 lokomotif C53 yang saat itu dibeli, hanya tersisa C53 17. Saat ini, C53 17 dipajang di Museum Transportasi, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.