Kali ini kami akan berbagi kisah tentang gerbong maut yang menjadi saksi bisu kekejaman Belanda. Gerbong ini digunakan untuk pemindahan tahanan Belanda dari Bondowoso ke Surabaya. Di masa itu, Belanda melakukan penangkapan besar-besaran terhadap TRI, lasjkar, gerakan bawah tanah dan rakyat sipil, meskipun mereka tidakterlibat dalam kegiatan perjuangan.
Tepatnya pada hari Sabtu, 23 November 1947, pukul 05.30 WIB tahanan tiba di Statiun Kereta Api Bondowoso. Dari 100 tahanan, 32 orang masuk gerbong pertama bernomor GR 5769, 30 orang masuk gerbong kedua bernomor GR 4416, dan sisanya sebanyak 38 orang masuk ke gerbong terakhir bernomor GR 10152 yang masih baru dan panjang.
Selama 16 jam perjalanan, seluruh gerbong di tutup rapat dan dikunci. Hal ini menyebabkan udara menjadi panas walaupun pemberangkatan masih pagi. Selama itu pula para tahanan menggedor-gedor dan berteriak karena kepanasan, terlebih lagi atap dan dinding gerbong terbuat dari plat baja. Tapi tidak satupun teriakan mereka di hiraukan oleh Belanda. Kebijakan mengurung 100 tawanan itu diduga untuk menghindari intaian gerilyawan RI. Pada masa itu gerilyawan tersebar di mana-mana, terutama di hamparan sawah dekat rel kereta api. Jika ketahuan gerbong itu berisi perjuang RI yang ditahan, dipastikan gerilyawan tak hanya tinggal diam.
Pukul 20.00 WIB Gerbong Maut tiba di Stasiun Wonokromo. Pendataan dilakukan terhadap para tahanan, di gerbong GR 5769 dari 32 tahanan, sebanyak 5 sakit keras dan 27 orang sakit. Di Gerbong GR 4416 dari 30 tahanan, sebanyak 8 orang meninggal, 6 sakit keras, dan 12 orang sehat. Yang paling mengenaskan, kondisi di Gerbong GR 10152 seluruh tawanansebanyak 38 orang digerbong inimeninggal dunia.
Hingga saat ini salah satu dari ketiga Gerbong Maut berada di Monumen Gerbong Maut Kota Bondowoso. Sedangkan 2 lainnya berada di Museum Brawijaya Kota Malang dan di Gedung Juang DHD 45 Kota Surabaya. Ketiganya merupakan saksi bisu peristiwa tragis pejuang Indonesia.