Jika kita membicarakan perkereta-apian Indonesia, lebih baik jangan membandingkannya dengan Jepang. Itu terlalu jauh dan bikin sakit hati. Jangankan Jepang, dibandingkan dengan negeri kecil sekelas Singapura atau Belgia, kita masih jauh.
Membahas kereta api, mestinya orang melihat India, negeri yang berpacu dengan Indonesia dalam skala kemajuan ekonomi. Negeri berkembang itu memiliki skala perkereta-apian yang sangat raksasa, meski fasilitasnya pas-pasan.
Negeri unik itu merogoh sekitar 15% APBN nya untuk menyubsidi operasional kereta api. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya menyubsidi 600-an milyar rupiah (kurang dari 1% APBN-RI) per tahun. Proporsi anggaran itu menunjukkan tingkat keseriusan sebuah negara terhadap sistem transportasi masal.
Soal anggaran subsidi di bidang transportasi massal ini, India bahkan pernah sampai menguras 70% APBN nya pada tahun 1924 hanya untuk mengopeni kereta api beserta jaringannya. Anggaran sebesar itu terpaksa dikeluarkan karena dampak Perang Dunia I, sekaligus menandakan pertumbuhan ekonominya saat itu yang sangat tergantung pada jaringan kereta api.
Anggaran yang terlihat sangat fantastis, membiayai jaringan kereta api dengan hampir 9.000 lokomotif bertenaga uap di masa kolonial. Tahun 2012 India punya 9.549 lokomotif (43 mesin uap, 5.197 mesin diesel dan 4.309 mesin listrik). Sampai saat ini, jaringan kereta apinya termasuk yang terbesar di dunia.
Dalam hal jumlah, pastinya Indonesia masih jauh dari India. Dalam sehari,PT KAI hanya mampu menyediakan 106.638 tumpangan. Bandingkan dengan jaringan kereta api India yang dalam sehari mengangkut 25 juta penumpang.
Maklum saja, dari tahun 2000 hingga 2009, jumlah lokomotif PT KA berkurang dari 406 lokomotif menjadi 330 lokomotif, kereta rel diesel (KRD) berkurang dari 85 unit menjadi 77 unit, kereta lokal berkurang dari 91 unit menjadi 17 unit, dan gerbong kereta menyusut dari 6.823 unit jadi tinggal 3.376 unit. [Yud/KAI]